Langsung ke konten utama

Manusia dan Kebahagiaan (Sebuah Renungan Antara Fitrah, Ilmu, dan Jalan Menuju Insan Kamil)

Pendahuluan Pembahasan tentang manusia selalu menjadi inti dari upaya Islamisasi ilmu. Semakin dalam seseorang mengkaji konsep manusia, semakin dekat ia kepada fitrahnya, dan semakin terbuka pula pintu untuk mengenal Allah melalui ayat-ayat-Nya — baik ayat qauliyah (Al-Qur’an) maupun ayat kauniyah (ciptaan-Nya). Karena itulah memahami manusia bukan sekadar wacana antropologi, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk memahami Ru’iyatul Islâm lil Wujûd — pandangan Islam tentang keberadaan. Fase Hidup Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an Al-Qur’an banyak menjelaskan proses dan perjalanan manusia, seperti dalam: Al-Ahqaf: 15 → menyebut fase perkembangan dari lemah menjadi kuat. Ar-Rum: 54 → menggambarkan siklus: lemah → kuat → kembali lemah. Dalam realitas, usia 20–40 merupakan masa “puncak”—muda, kuat, dan penuh potensi capaian luar biasa. Pepatah ulama mengatakan bahwa: 20 tahun pertama → menuntut ilmu. 20 tahun kedua → mengamalkan ilmu. 20 tahun ketiga → menyebar...

Apa yang Kamu Cari?

Saat itu, malam jum’at di pertengahan bulan Ramadhan. Seperti biasa dirumahnya diadakan pembacaan tahlil dan surah yasin selepas tarawih di masjid. “Hayo kita siap-siap, sebentar lagi jama’ah masjid akan datang ke rumah.” kata ibu sembari mengangkat kue ke ruang tamu.

“Ibu ngapain si terlalu over banget siapin makanan untuk jama’ah, kan jadinya mereka banyak yang dateng tahlilan hanya karena makanan.” Kataku sedikit gerutu.

“Loh loh loh, sekarang ibu tanya kamu kerja di kantor niat ibadah bukan?”

“InsyaAllah iya bu, kan ibu dan ustadz yang mengajarkan seperti itu. Kalo tidak diniatkan seperti itu akan sia-sia kan bu tidak dapat pahala.” Jelasku.

“Alhamdulillah, terus kalo niat ibadah berarti ikhlas karena Allah kan agar diterima?” ibu bertanya kembali.

“Iya bu insyaAllah.” Jawabku lugas.

“Kalo gitu, kalo misalkan kamu kerja di kantor tidak dapat gaji gimana? Apakah masih mau bekerja?” tanya ibu mengujiku.

“Ya tidak mau lah bu, masa tidak dapat gaji. Kalau gitu mah saya dizhalimi bu.” Jawabku dengan sedikit menaikkan nada.

“Nah, itu maksud ibu. Sederhananya, meski kamu niatkan kerja sebagai ibadah kepada Allah. Tapi kamu berhak untuk menerima gaji, agar kamu tidak dizhalimi. Sesuai dengan kesepakatan dengan pihak kantor. Kamu fokus dengan kerjamu, lalu kantormu fokus dengan memberikan gaji untukmu. Mereka dapat jasa dari kamu, dan kamu dapat imbalan dari mereka.” Jelas ibu.

“Lalu apa hubungannya dengan mengundang jama’ah tahlilan di rumah, tapi kita juga yang repot-repot siapin makanan?” tanyaku kembali.

“Kamu percaya dengan adanya pahala kan jika ibadah atau kebaikan itu dilakukan dengan ikhlas?”

“Iya bu, aku percaya.”

“Kamu tau kan adab menjamu tamu dan keutamaan memuliakannya?”

“Hmm, apatuh bu?”

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Mutafaq'alaih).

“Bahkan Rasulullah SAW itu memuliakan tamunya yang kafir loh. Nah, dengan akhlak mulia beliau SAW, orang kafir itu pada akhirnya menerima hidayah untuk masuk Islam. Jadi disini, merupakan ladang amal kita rum. Betapa banyak amal yang akan kita dapat dengan adanya acara ini.” Terang ibu kembali.

“Ya tapi bu, aku denger pasti ada aja jama’ah yang suka mengomentari masakan ibu, tidak enak lah. Kurang banyak berkatnya lah, panaslah rumah kita, dan komentar lainnya. Padahalkan ibu udah susah payah menyiapkan semuanya dengan baik. Mereka dateng, duduk, baca, itu juga gatau serius atau tidak, makan, dapet berkat, terus pulang deh!”

“Ya tidak papa, kita doakan mereka bisa mendapat hidayah lalu tidak suka mengomentari keburukan-keburukan yang terdapat pada orang lain. insyaAllah jika kita menerimanya dengan lapang dada, pasti akan dapat ganjaran pahala yang besar. Memangnya, di hidup ini APA YANG KAMU CARI RUM?” dengan tatapan yang cukup tajam ibu bertanya padaku membuat suasana sedikit lebih tegang.

“Hm, ya aku sih mencari ridha Allah bu. Yakan?” jawabku dengan sedikit ragu.

“Iya benar rum, benar sekali.” Ibu membenarkan.

“Kalau ridha Allah yang kamu cari, maka kamu tidak perlu mencari pujian-pujian dari orang lain. Kamu pun tidak perlu membalas keburukan-keburukan orang lain terhadap kebaikanmu, toh yang kamu cari adalah ridha Allah. Lihatlah perjuangan para Nabi dan Rasul, ada yang digergaji, ada yang dibunuh, ada yang dihina, dilempari kotoran. Lihatlah manusia paling mulia, Rasulullah SAW, yang dengan segala kemuliaannya itu, masih ada aja musuh yang bahkan ingin membunuh beliau dan ya dengan kemuliaan akhlak itu, banyak musuh-musuhnya itu yang masuk Islam bahkan jadi masuk surga karena mati syahid.” Ibu meneruskan penjelasan.

“Astaghfirullah...” Dengan wajah yang agak tertekuk, aku pergi ke dapur mengambil kotak nasi untuk ditaruh di kamar yang akan dijadikan makan malam para jama’ah.

“Masih mau ibu lanjutkan ceramahnya atau kamu sudah cukup mengerti rum?” ibu mulai bangun untuk merapihkan karpet yang sedikit terlipat.

“Cukup bu, aku sadar bu, bahwa ini adalah kebaikan yang tidak perlu dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh kita. Segala hal yang ada di dunia ini semata adalah untuk mendapat ridha Allah. Itulah yang kita cari dan kita harapkan ya bu. Memang manusia ada aja sifat buruknya, dan kita tidak bisa menguasai mulut dan hati mereka, tapi Allahlah yang Maha Menguasai apa-apa yang ada di bumi dan langit.” Balasku sembari dudu disampingnya.

“Nah yasudah tidak perlu ibu jelaskan lagi ya, intinya berbuat baiklah ikhlas karena Allah, lakukan tugasmu sebaik mungkin, tidak perlu membalas dendam, jangan putus asa, dan senantiasalah berakhlak mulia terhadap siapapun. Karena apa yang kamu cari? Ya ridha Allah.” Jelas ibu sembari menepuk pahaku.

“kamu masih muda, masa depanmu terlihat masih panjang. Tapi batas usia hanya Allah yang tahu. Kamu akan menemukan, hal-hal lain yang akan menguji keimananmu dan menguji apa yang kamu cari itu (ridha Allah). Karena mendapatkannya itu tidaklah mudah, makanya kalau yang kamu cari itu adalah ridha Allah, jangan tinggalin Allah, deketin dia. Toh Dia yang punya kan…” Kata ibu dengan senyumnya yang mulai mencairkan suasana.

“Iya bu maafkan rumi ya bu, makasih banget udah memberikan pelajaran berharga bagi rumi. Dari penjamuan tamu saja, sudah banyak hikmah yang bisa diambil. Kalau gitu mari bu, kita buka pintunya agar jama’ah masjid bisa langsung masuk, kebetulan ayah ada di depan gerbang sedang mengobrol dengan ustadz ali.” Tangkasku sembari memeluknya dan beranjak untuk membuka pintu.

Malam itu, akhirnya rumi mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari dialog sederhana dengan ibunya, dari penjamuan tamu yang merupakan salah satu kemuliaan akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kemudian dari situ banyak hikmah yang dapat digali dan dijadikan pelajaran hidup. Salah satunya adalah terus ikhlas berbuat baik karena Allah Azza wa Jalla.

Rumi mendapat tambahan kekuatan, spirit,  untuk terus memantapkan hati dalam mencari ridha Allah di dunia. Lalu, aku bertanya padamu sahabatku, di hidup ini apa yang kamu cari? Jangan lupa berbagi kisah ya, karena pasti banyak kisah seru yang akan kamu temui dan jalani!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Transformasi Pembaruan Dakwah Kampus; Sebuah Renovasi Cerdas-Paripurna

Secara etimologis Transformasi adalah Perubahan Rupa (betuk, sifat, fungsi dsb). Transformasi secara umum menurut kamus (The New Grolier Webster Internasional dictionary of English Language), menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai-nilai yang sama, perubahan dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan dan fungsi. Bisa kita saksikan dalam sejarah bahwa Islam adalah agama, nilai dan ajaran yang transformatif. Merubah tatanan hidup manusia dari keburukan yang berbagai macam rupa menjadi kebaikan-kebaikan yang penuh kemuliaan. Sedangkan permbaruan merupakan proses yang senantiasa dijalankan oleh alam semesta atau sebuah proses penyesuaian diri dengan realitas zaman. Kemudian dijelaskan tentang pelaku pembaharuan. Diceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para sahabat. Kesimpulannya terdapat dalam surah Ar-Ra’du: 11 bahwa sebuah pembaruan tidak akan pernah tercapai manakala kita belum berhasil me...

Perjalanan yang Membutuhkan Pilihan; Menjaga Cinta atau Mengobati Hati

"Hidup adalah soal pilihan. Manusia dituntut untuk menentukan pilihan mana yang terbaik baginya. Seperti dua mata koin, kita akan mendapatkan jawaban ketika sebuah pilihan telah digulirkan. Setiap pilihan pasti memiliki dampak dan risiko. Semakin besar dampak yang ditawarkan, maka semakin besar pula risiko yang diterima. Maka, selalu libatkan Allah dalam setiap pilihan hidup, karena Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan Maha Mengetahui apapun yang terjadi." "Setelah menjalani lika-liku kehidupan, manis-pahitnya perjalanan, kini aku mulai mengerti bahwa diri ini harus lebih berhati-hati dalam menentukan sebuah pilihan jalan. Bukan hanya sekedar keinginan atau hawa nafsu yang dituruti, namun juga kebutuhan dalam diri berupa keimanan dan kesehatan yang harus diprioritaskan atau diutamakan. Kini aku mulai mengerti bagaimana melakukannya karena Allah telah menunjukkan jalan terbaiknya padaku." Mari sejenak kita melakukan refleksi, mengingat dan membayangkan betapa ...

DARI AKTIVIS MENJADI IMPACTIVIS

  Impact merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti dampak. Jika melihat KBBI, impact berarti tubrukan atau pengaruh kuat. Mari kita ingat, awal dakwah Rasulullah SAW yang dibersamai oleh Khadijah r.a dan mampu menjaga keberlangsungan dakwah Islam di tengah gempuran perlawanan dari Kafir Quraisy. Dampaknya, dakwah Islam mampu bertahan hingga sekarang. Lihat pula saat Abu Bakar r.a membayar tebusan kepada kaum Kafir Quraisy untuk memerdekakan Bilal bin Rabbah r.a, padahal saat itu pula Bilal sudah siap untuk mati syahid. Dampaknya, Bilal bin Rabbah menjadi muadzin pertama. Kemudian ketika Umar bin Khattab r.a membuat kebijakan  impact investment.  Tersebutlah harta anak yatim yang pengelolaannya dititipkan ke Baitul Maal. Sang Khalifah berpikir, kalau harta itu mandek tersimpan, lama kelamaan bisa susut nilainya, bahkan habis tersebab harus dikeluarkan zakatnya tiap tahun.  Maka ditawarkanlah pada para s...