Pendahuluan Pembahasan tentang manusia selalu menjadi inti dari upaya Islamisasi ilmu. Semakin dalam seseorang mengkaji konsep manusia, semakin dekat ia kepada fitrahnya, dan semakin terbuka pula pintu untuk mengenal Allah melalui ayat-ayat-Nya — baik ayat qauliyah (Al-Qur’an) maupun ayat kauniyah (ciptaan-Nya). Karena itulah memahami manusia bukan sekadar wacana antropologi, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk memahami Ru’iyatul Islâm lil Wujûd — pandangan Islam tentang keberadaan. Fase Hidup Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an Al-Qur’an banyak menjelaskan proses dan perjalanan manusia, seperti dalam: Al-Ahqaf: 15 → menyebut fase perkembangan dari lemah menjadi kuat. Ar-Rum: 54 → menggambarkan siklus: lemah → kuat → kembali lemah. Dalam realitas, usia 20–40 merupakan masa “puncak”—muda, kuat, dan penuh potensi capaian luar biasa. Pepatah ulama mengatakan bahwa: 20 tahun pertama → menuntut ilmu. 20 tahun kedua → mengamalkan ilmu. 20 tahun ketiga → menyebar...
Secara etimologis Transformasi adalah
Perubahan Rupa (betuk, sifat, fungsi
dsb). Transformasi secara umum menurut
kamus (The New Grolier Webster
Internasional dictionary of English
Language), menjadi bentuk yang
berbeda namun mempunyai nilai-nilai
yang sama, perubahan dari satu
bentuk atau ungkapan menjadi suatu
bentuk yang mempunyai arti atau
ungkapan yang sama mulai dari
struktur permukaan dan fungsi. Bisa kita saksikan dalam sejarah bahwa Islam adalah agama, nilai dan ajaran yang transformatif. Merubah tatanan hidup manusia dari keburukan yang berbagai macam rupa menjadi kebaikan-kebaikan yang penuh kemuliaan.
Sedangkan permbaruan merupakan proses
yang senantiasa dijalankan oleh alam semesta atau sebuah proses penyesuaian
diri dengan realitas zaman. Kemudian dijelaskan tentang pelaku pembaharuan.
Diceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para sahabat. Kesimpulannya terdapat
dalam surah Ar-Ra’du: 11 bahwa sebuah pembaruan tidak akan pernah tercapai
manakala kita belum berhasil melakukan perbaikan internal diri.
Keduanya memiliki makna yang hampir sama dan merujuk pada suatu perubahan yang baru dan lebih baik yang terjadi secara berangsur-angsur.
Dakwah Kampus perlu melakukan langkah-langkah yang transformatif dan terbarukan dalam proses perbaikan internal. Karena hakikatnya, perbaikan internal adalah penempaan diri, pembangunan cita-cita dan pengenalan prinsip.
Dalam menjalankan proses transformasi pembaruan dakwah kampus, dibutuhkan 4 bentuk kekuatan jiwa:
- Tekad membaja yang tidak akan pernah lemah.
- Kesetiaan yang teguh, yang tidak disusupi oleh kemunafikan dan pengkhianatan.
- Pengorbanan besar yang tidak terhalangi oleh ketamakan dan kebakhilan.
- Mengenali, mengimani, dan menghargai prinsip yang dapat menghindarkan diri dari kesalahan dan penyimpangan terhadap prinsip.
Selanjutnya harus memenuhi 4
rukun:
- Iman yang kuat dan mendalam.
- Keikhlasan dalam perjuangan.
- Semangat yang menggelora.
- Kesiapan amal dan pengorbanan.
Secara sederhana, kita bisa menyebut bahwa proses perubahan sejarah
kehidupan manusia adalah sebuah proses yang membutuhkan peran. Bahwa kehidupan
itu seperti skenario peran-peran yang memerlukan aktor untuk memainkannya. Sebuah
situasi kemanusiaan tidak akan berubah kecuali ketika manusia itu melakukan dan
mengusahakan perubahan. Nasib manusia tidak akan berubah kecuali manusia itu
berusaha untuk mengubahnya.” (The Agent of Change, Keberanian Memimpin
Perubahan, Saiful A. Imam).
Untuk mencapai transformasi pembaruan, maka dakwah kampus perlu mempunyai orientasi, format dan prinsip yang dijalankan, diprioritaskan dan dipegang teguh oleh para kadernya. Hal ini agar tahapan yang ditempuh menjadi lebih jelas, terorganisir dan tersistematis. Karena sejatinya, tujuan yang dicita-citakan, menjadi sebuah renovasi yang cerdas dan paripurna.
Beberapa pembaruan dakwah kampus adalah:
- Dakwah Prestatif
- Creative Majority
- Dakwah Kaya (Kemiskinan yang harus ditinggalkan)
#30DWC #30DWCJilid43 #Day24
Komentar
Posting Komentar