Pendidikan Islam merupakan upaya manusia untuk melahirkan generasi yang
lebih baik, generasi yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah meminta kita agar tidak mewariskan generasi
yang lemah, sebagaimana firman-Nya,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. An-Nisaa : 9).
Ada dua bahasan yang terdapat dalam pendidikan, yaitu ilmu pendidikan teoretik dan ilmu pendidikan praktik. Dalam tataran teoretik, istilah pendidikan berhubungan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa generasi muda kepada tanggung jawab dan kewajibannya dalam masyarakat.
Menurut Mohammad Naquib Al-Attas, ilmu pendidikan teoretis dan praktis harus meningkatkan makna pengajaran (ta’lim) dan (tarbiyah) menjadi pemberadaban (ta’dib).[2] Menurutnya, pendidikan lebih cenderung kepada ta’dib daripada ta’lim dan tarbiyah, karena pengertian ta’dib berkaitan dengan ilmu, sedangkan ta’lim secara umum terbatas pada pendidikan untuk pengajaran kognitif dan tarbiyah hanya terbatas pada aspek fisikal dan emosional saja.[3]
Al-Attas mendefinisikan ta’dib sebagai penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Maksudnya adalah upaya atau tindakan manusia untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran, mencari kualitas dan sifat-sifat ruhiyah yang baik, berperilaku yang benar, melibatkan ilmu yang dapat menyelamatkan manusia.
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat pendidikan Islam lebih kepada tarbiyah daripada ta’lim ataupun ta’dib. Menurutnya, makna tarbiyah lebih lengkap pemaknaannya karena mencakup arti pembinaan, pendidikan, pengasuhan, dan pemeliharaan.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawy, proses pendidikan Islam berupaya mendidik manusia ke arah sempurna sehingga manusia tersebut dapat memikul tugas khilafahan di bumi ini dengan perilaku amanah. Maka upaya melahirkan manusia yang amanah tersebut adalah sebuah amal pendidikan Islam.
Masih menurut An-Nahlawy, pendidikan Islam harus memiliki tiga aspek;
pertama, pendidikan pribadi yang meliputi pendidikan tauhid kepada Allah dan nilai akidah. Hal ini untuk menyiapkan diri menerima ajaran Islam.
Kedua, mencintai amal kebajikan dan keteguhan pada prinsip Islam dalam situasi dan kondisi apa pun.
Ketiga, pendidikan sosial masyarakat yang meliputi cinta kebenaran dan mengamalkannya, serta sabar dan teguh menghadapi tantangan.[1]
Jika ketiga aspek
tersebut dapat diterapkan dengan tepat, maka akan lahirlah manusia-manusia yang
berakal, amanah, cerdas, berilmu, dan bertakwa. Dalam Al-Qur’an, ada istilah
yang menggambarkan manusia tersebut. Dialah Ulil Albab. Kata Ulil Albab dalam
Al-Qur’an diungkap sebanyak 16 ayat beserta ayat-ayat yang mengiringinya.
Ayat-ayat tersebut menggambarkan empat kualitas yang dimiliki sosok Ulil Albab,
yaitu :
1. Tauhidnya;
fitrah tauhid meyakinkan mereka bahwa segala nikmat adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tauhid mereka yang kokoh akan melahirkan rasa takut terhadap siksaan api neraka kelak.
“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuha yang Maha Esa dan agar orang-orang berakal mengambil pelajaran. (QS. Ibrahim : 52).
2. Ilmu dan Pengetahuannya;
mereka diberi kepahaman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Al-Qur’an secara mendalam, mereka meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah. Melalui kitab-Nya, mereka mampu membedakan yang haq dan bathil serta memahami tujuan dari syariat Allah.
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an)
kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok
isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagiaan
ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya dengan menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS.
Al-Imran : 7).
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kepahaman yang
dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah : 269).
3. Sikap dan Ibadahnya;
mereka menjaga amanah dan janji hidupnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengingkarinya. Mereka juga menjaga silaturrahim, berinfak, sabar, dan memiliki akhlak-akhlak mulia lainnya. Hal yang utama adalah mereka selalu bersujud dan bertakwa kepada-Nya.
(QS. Ar-Ra’du : 19-23).
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9).
4. Tafakkur dan Tadabbur;
mereka gemar melakukan tafakkur dan tadabbur akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui penelitian mendalam tentang penciptaan alam semesta dan sunnatullah alam yang terjadi, menghantarkan mereka pada ketauhidan yang berkualitas. Selain itu, mereka mampu mengambil i’tibar sebuah peristiwa yang diungkapkan Al-Qur’an.
"Semakin dalam iman dan ilmu yang kamu miliki, maka kamu akan semakin merasakan kedamaian."
[1] Abdurrahman An-Nahlawy, Ushul At-Tarbiyyat
Al-Islamiyyah wa Asalibiha fi Al-Bayt wa Al-Madrasah Al-Mujtama’, (Beirut : Dar
al-Fikr 1999), hlm 18-19.
[2] Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Terj. Hamid Fahmy, et., Cet. I,
(Bandung : Mizan, 1998), hlm. 15.
[3] Djuju Sudjana, “Perkembangan Ilmu
pendidikan dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain,” dalam buku Rujukan
Filsafat, Teori, dan Praktis Ilmu Pengetahuan (ed. Rochman Natawidjaja,
et.al.), (Bandung : UPI Press, cet. 1, 2008), hlm. 8.
Komentar
Posting Komentar