Langsung ke konten utama

Manusia dan Kebahagiaan (Sebuah Renungan Antara Fitrah, Ilmu, dan Jalan Menuju Insan Kamil)

Pendahuluan Pembahasan tentang manusia selalu menjadi inti dari upaya Islamisasi ilmu. Semakin dalam seseorang mengkaji konsep manusia, semakin dekat ia kepada fitrahnya, dan semakin terbuka pula pintu untuk mengenal Allah melalui ayat-ayat-Nya — baik ayat qauliyah (Al-Qur’an) maupun ayat kauniyah (ciptaan-Nya). Karena itulah memahami manusia bukan sekadar wacana antropologi, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk memahami Ru’iyatul Islâm lil Wujûd — pandangan Islam tentang keberadaan. Fase Hidup Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an Al-Qur’an banyak menjelaskan proses dan perjalanan manusia, seperti dalam: Al-Ahqaf: 15 → menyebut fase perkembangan dari lemah menjadi kuat. Ar-Rum: 54 → menggambarkan siklus: lemah → kuat → kembali lemah. Dalam realitas, usia 20–40 merupakan masa “puncak”—muda, kuat, dan penuh potensi capaian luar biasa. Pepatah ulama mengatakan bahwa: 20 tahun pertama → menuntut ilmu. 20 tahun kedua → mengamalkan ilmu. 20 tahun ketiga → menyebar...

Mengeluh karena Tidak Tahu atau Tidak Mau Tahu?

'Kerja di mana mas?' tanya seorang satpam kepada seorang anak yang sedang memarkirkan motornya.
'Disini pak' jawab anak itu.
'Mengapa tidak parkir di sana saja mas?' tanya satpam dengan nada sedikit ketus.
'Tidak bawa kartu parkir pak' jawab anak itu dengan perlahan meninggalkan motornya.
'Penuh dah nih parkiran gue, elah' keluh pak satpam menanggapi alasan anak tersebut.

Singkat cerita mereka akhirnya berpisah dengan saling memendam prasangka atas interaksi tadi. Bagi sang anak, hal itu sedikit mengganggunya karena hal itu tidak biasa terjadi. Ya wajar, ia telah lebih dari 5 tahun bekerja di sana. Masa ia diperlakukan kurang baik oleh seorang satpam?

Beberapa kalimat mulai bermunculan di alam pikirannya, mencoba bertanya -tanya di dalam hatinya, 'apakah bapak ini tidak mengenal saya ya atau ia sedang bercanda saja?'.

Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh dirinya sendiri 'kayanya lupa deh bapak itu ke saya eh atau ia sedang bercanda? tapi kok kalau bercanda ia bermimik wajah serius? kayanya tidak sedang bercanda'.

Lalu bagi sang satpam? 'yah penuh dah parkiran gue' ya, itulah jawabannya. Menjadi isyarat bahwa ia dalam keadaan tidak senang, mengeluh, dan sedikit tidak menerima anak itu memarkirkan motor di tempatnya.

'Pasti bapak itu kalau saya bilang 'begini' akan mengenal saya dan menerima dengan baik saya parkir di tempatnya' masih saja anak itu mencoba menyimpulkan sesuatu yang tidak terjadi. Anak itu mencoba mengandaikannya. Padahal kejadiannya sudah berlalu, keduanya sudah berpisah.
Inilah yang sering terjadi pada anak manusia, mengandaikan sesuatu yang sebenarnya sedang tidak pernah terjadi. 'Coba saya melakukan ini, pasti akan baik', 'mungkin kalau saya memilih itu, jawabannya pasti benar' dan contoh-contoh lain.

Mereka mencoba untuk menjadi 'lebih baik' dari apa yang sudah dikehendaki terjadi oleh Allah. Secara tidak sadar apa yang mereka lakukan adalah sebagai upaya mengkerdilkan status Allah dan meninggikan status dirinya. Padahal ia seorang hamba yang diciptakan Allah. Secara tidak sadar, ia merasa bahwa takdir Allah itu tidak baik. Padahal, kita tahu bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dia Sang Pencipta yang menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Dia tidak mungkin dzalim terhadap hamba-Nya.

'Ah sial, coba aja gue tadi ga ngelakuin ini pasti ga bakal kejadian buruk gini' sesal seorang anak manusia.
Ya, penyesalan seperti itu bisa saja terjadi. Biasanya karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Biasanya karena kelalaian sendiri yang menjadi sebab kegagalan. Padahal, Allah telah memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk memilih suatu keputusan dalam hidupnya. Dia memberi sedikit 'kuasa atau kebebasan' terhadap hamba-Nya untuk menentukan sendiri skenario hidupnya. Tetapi yang sering kali terjadi adalah manusia gagal membuat skenario yang baik.

Cerita di atas, memberikan kita sebuah jawaban atas pertanyaan yang menjadi judul tulisan. 'Mengeluh karena tidak tahu atau tidak mau tau?'
Sang satpam, adalah orang yang mengeluh karena tidak tahu orang itu siapa, yang ia tahu adalah parkirannya menjadi penuh karena anak asing tersebut.

Hal yang biasa terjadi pada manusia yang tidak mengetahui masa depan, yang sering sekali lupa, yang sewajarnya salah. Padahal, jika ia paham bahwa segala yang terjadi merupakan takdir dari Sang Ilahi adalah kebaikan, maka tidak akan ada keluhan. Padahal, jika ia mengetahui bahwa anak itu seorang yang sebenarnya dekat dengannya, maka ia akan tersenyum dan mempersilahkannya parkir di sana. Pun begitu yang terjadi pada manusia dalam menyikapi suatu takdir. Jika ia paham bahwa hal itu adalah dari Sang Pencipta, maka ia akan senantiasa bersyukur karena hal itu adalah kebaikan.

Merasa bahwa segala yang luput daripadanya, segala yang terjadi dalam hidupnya adalah kebaikan juga. Hanya saja, tinggal bagaimana ia mempersiapkan diri dalam menghadapi segala kemungkinan. Bagaimana ia menyikapi kenyataan. Maka agar kita dapat melaluinya dengan baik, sangat diperlukan keimanan yang kokoh, dan akhlak yang mulia. Dua hal itu yang akan menjadi benteng terkuat kala bisikan-bisikan setan dan keburukan emosi datang menyerang.

Bukan hanya menyerang orang-orang yang mengeluh karena tidak tahu. Setan pun bahkan menyerang orang-orang yang suka mengeluh karena tidak mau tahu. Artinya, mereka yang memaksakan kehendak Tuhan, harus sesuai dengan kehendak-Nya.

Saat Allah memberikan suatu ujian, mereka menganggap buruk ujian tersebut, mereka mengeluh karena berat dilalui. Padahal mereka tahu bahwa segala takdir Allah adalah baik. Tetapi mereka tidak mau tahu. Inilah yang biasa menjangkit para aktivis Islam. Merasa tidak mau tahu apa yang sedang terjadi, pokoknya harus sesuai dengan keinginannya. Sehingga diantara kita, merasa memiliki status 'Tuhan' atau malah 'menghamba' kan sesamanya. Sehingga, terbesit rasa 'paling benar' yang menjadi jawaban sederhananya. Mencaci maki keadaan karena ulah manusia lain yang sedang dalam posisi salah. Padahal, seharusnya kita mendoakan, tetap mengajaknya kembali pada kebaikan, mengingatkannya, dan tetap berakhlak mulia. Tidak menghukuminya semata.

Memang, tidak segala yang terjadi sesuai dengan keinginan kita, tidak sesuai dengan harapan. Tetapi ketahuilah bahwa skenario Allah adalah yang terbaik. Mengeluh atau tidak mengeluh, apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, pasti terjadi. Jangan kita kepada sesama malah saling bermusuhan memaksakan semua harus sesuai kemauan kita. Merasa bahwa orang lain melakukan kesalahan dan kita berada pada posisi yang benar. Padahal, kita adalah orang yang lebih bertanggung jawab atas kesalahan tersebut daripada orang lain. Apa yang sudah kita lakukan itulah yang akan dipertanyakan.

Ketika ban kita bocor, mengeluh atau tidak mengeluh pasti kita akan mencari cara agar bagaimana ban kita dapat kembali beroperasi. Ketika negara kita tidak sedang baik-baik saja, mengeluh atau tidak mengeluh pasti kita akan mencari cara agar menjadikannya lebih baik. Ketika harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan, mengeluh atau tidak, kita tidak bisa merubah sesuatu yang tidak berada dalam kuasa kita. Jadi, daripada mengeluh yang akan menyebabkan tenaga dan pikiran kita terkuras, maka lebih baik berlapang dada menerima kenyataan.

Hati-hati dalam menyikapi sebuah persoalan, jangan mudah mengeluh. Berlapanglah dalam menerima takdir, persiapkanlah agar tidak terjadi penyesalan di masa depan. Lakukanlah yang terbaik, lakukanlah yang benar, jangan menyalahkan orang lain dalam kegagalan kita atau dalam ketidak sesuaian kenyataan pada harapan kita.

Karena sesungguhnya Allah telah memberikan segala yang baik kepada hamba-Nya, mungkin kita tidak tahu atau malah kita tidak mau tahu.

Untuk kamu yang sedang berjuang, seberat apapun kondisinya bersyukurlah karena diluar sana ada orang-orang yang lebih berat lagi menanggung beban hidupnya tetapi mereka hadapi dengan senyuman dan rasa syukur yang luar biasa. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Transformasi Pembaruan Dakwah Kampus; Sebuah Renovasi Cerdas-Paripurna

Secara etimologis Transformasi adalah Perubahan Rupa (betuk, sifat, fungsi dsb). Transformasi secara umum menurut kamus (The New Grolier Webster Internasional dictionary of English Language), menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai-nilai yang sama, perubahan dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan dan fungsi. Bisa kita saksikan dalam sejarah bahwa Islam adalah agama, nilai dan ajaran yang transformatif. Merubah tatanan hidup manusia dari keburukan yang berbagai macam rupa menjadi kebaikan-kebaikan yang penuh kemuliaan. Sedangkan permbaruan merupakan proses yang senantiasa dijalankan oleh alam semesta atau sebuah proses penyesuaian diri dengan realitas zaman. Kemudian dijelaskan tentang pelaku pembaharuan. Diceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para sahabat. Kesimpulannya terdapat dalam surah Ar-Ra’du: 11 bahwa sebuah pembaruan tidak akan pernah tercapai manakala kita belum berhasil me...

Perjalanan yang Membutuhkan Pilihan; Menjaga Cinta atau Mengobati Hati

"Hidup adalah soal pilihan. Manusia dituntut untuk menentukan pilihan mana yang terbaik baginya. Seperti dua mata koin, kita akan mendapatkan jawaban ketika sebuah pilihan telah digulirkan. Setiap pilihan pasti memiliki dampak dan risiko. Semakin besar dampak yang ditawarkan, maka semakin besar pula risiko yang diterima. Maka, selalu libatkan Allah dalam setiap pilihan hidup, karena Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan Maha Mengetahui apapun yang terjadi." "Setelah menjalani lika-liku kehidupan, manis-pahitnya perjalanan, kini aku mulai mengerti bahwa diri ini harus lebih berhati-hati dalam menentukan sebuah pilihan jalan. Bukan hanya sekedar keinginan atau hawa nafsu yang dituruti, namun juga kebutuhan dalam diri berupa keimanan dan kesehatan yang harus diprioritaskan atau diutamakan. Kini aku mulai mengerti bagaimana melakukannya karena Allah telah menunjukkan jalan terbaiknya padaku." Mari sejenak kita melakukan refleksi, mengingat dan membayangkan betapa ...

DARI AKTIVIS MENJADI IMPACTIVIS

  Impact merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti dampak. Jika melihat KBBI, impact berarti tubrukan atau pengaruh kuat. Mari kita ingat, awal dakwah Rasulullah SAW yang dibersamai oleh Khadijah r.a dan mampu menjaga keberlangsungan dakwah Islam di tengah gempuran perlawanan dari Kafir Quraisy. Dampaknya, dakwah Islam mampu bertahan hingga sekarang. Lihat pula saat Abu Bakar r.a membayar tebusan kepada kaum Kafir Quraisy untuk memerdekakan Bilal bin Rabbah r.a, padahal saat itu pula Bilal sudah siap untuk mati syahid. Dampaknya, Bilal bin Rabbah menjadi muadzin pertama. Kemudian ketika Umar bin Khattab r.a membuat kebijakan  impact investment.  Tersebutlah harta anak yatim yang pengelolaannya dititipkan ke Baitul Maal. Sang Khalifah berpikir, kalau harta itu mandek tersimpan, lama kelamaan bisa susut nilainya, bahkan habis tersebab harus dikeluarkan zakatnya tiap tahun.  Maka ditawarkanlah pada para s...